Saturday, 24 August 2013

HUBUNGAN PRIA DAN WANITA DALAM ISLAM

A. Pendahuluan

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An Nisa’:1)

Manusia, baik pria maupun wanita, merupakan makhluk individu dan sosial. Sebagai individu dia merupakan makhluk unik yang tidak sama dengan yang lain. Dan sebagai makhluk sosial, dia tidak bisa hidup sendiri dan harus hidup bersama dengan yang lain dalam keluarga dan masyarakat. Al-Qur’an memberi tuntunan bagaimana manusia mewujudkan hubungan sosial yang tertib, harmonis dan konstruktif.

Tuntunan yang diberikan kitab suci agama Islam itu ada yang bersifat umum dan khusus. Yang pertama berupa prinsip-prinsip yang harus mendasari hubungan itu; dan yang kedua berupa petunjuk atau aturan-aturan khusus mengenai cara bagaimana hubungan itu dilakukan. Tuntunan tersebut sesuai dengan kodrat penciptaan pria dan wanita sebagai pasangan dan dapat diwujudkan dalam sejarah.

B. Penciptaan Manusia

Dalam kisah penciptaan manusia yang populer, pria diciptakan Allah SWT lebih dahulu daripada wanita yang diciptakan kemudian dari tulang rusuknya. Kisah yang diterima sebagai kebenaran pada abad tengah yang lalu ini, sekarang, setelah berkembangnya ilmu pengetahuan modern yang berhasil mengungkap misteri penciptaan manusia dan sejarah perkembangannya, diterima sebagai mitos yang sebagai ungkapan pengalaman keagamaan dalam pemikiran, dipandang mengandung kebenaran tertentu.

Ilmu pengetahuan modern telah menemukan bahwa Adam yang dalam tradisi agama-agama Semit, termasuk Islam, dipercaya sebagai manusia pertama, baru hidup pada 5000 tahun sebelum masehi. Sementara manusia sebagai makhluk hidup telah ada pada jutaan tahun yang lalu.

Penemuan itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an yang dalam kenyataannya memang tidak menyebutkan Adam sebagai tokoh historis sebagai manusia pertama. Adam sebagai tokoh historis memang baru hidup pada ribuan tahun yang lalu, sementara Adam sebagai manusia pertama telah hidup jutaan tahun sebelumnya. Hal ini karena kata ”adam” itu bisa berarti kulit, sehingga ketika digunakan untuk menunjuk manusia pertama, maka sebenarnya yang dimaksudkan adalah makhluk yang kulitnya kelihatan yang berbeda dari hewan, makhluk hidup yang paling dekat dengannya, yang kelihatan kulitnya.

Dan sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (Q.S. Al Muminun:12)

Al-Qur’an menyebutkan bahwa Adam sang manusia pertama diciptakan dari saripati (sulalah) tanah. Saripati tanah itu apa? Ilmu pengetahuan memperkirakan bahwa ia adalah silikon yang dengan proses kimiawi tertentu kemudian berkembang menjadi sel yang selanjutnya berkembang menjadi makhluk manusia. Silikon itu memancar ketika terjadi ledakan Kambrium pada 6 juta tahun yang lalu bersamaan dengan memancarnya bahan asal semua spesies makhluk hidup lain di alam semesta.

Hai manusia, sesungguhnya Aku menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Q.S. Al Hujurat:13)

Kemudian sebagai bangsa, al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari nafs wahidah, dengan pengertian memiliki jiwa yang sama. Dalam konteks inilah penciptaan perempuan dari tulang rusuk itu harus dipahami. Kisah penciptaan perempuan dari tulang rusuk ini berasal dari tradisi perjanjian lama, yang kemudian terserap dalam hadis Nabi. Pencipta tradisi perjanjian lama dan Nabi, bila hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk itu berasal darinya, memaksudkan makna simbolisnya, bukan makna hakikinya. Makna simbolis itu adalah seperti yang dinyatakan al-Qur’an itu, perempuan itu makhluk manusia yang berjiwa seperti laki-laki. Karena yang dimaksudkan makna ini, maka yang disebutkan adalah tulang rusuk yang berada di dada, tempat jiwa atau kesadaran manusia berada.

C. Prinsip-prinsip Dasar Hubungan Pria-Wanita

Ada empat prinsip yang harus mendasari hubungan pria-wanita yang diajarkan oleh al-Qur’an, yaitu persamaan, persaudaraan, kemerdekaan dan keadilan.

Persamaan

Mengenai yang pertama perlu ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan prinsip itu adalah persamaan pria-wanita dalam kemanusiaannya. Sebagai manusia, pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. Mereka sama-sama dimuliakan oleh Allah sebagai keturunan Adam. (al-Isra’, 17: 70);

diciptakan untuk menjadi hamba yang harus beribadah kepada-Nya (az-Zariyat, 51: 56)

dan khalifah-Nya yang harus memakmurkan bumi (al-Baqarah, 2: 30).

Dengan kedudukan itu, jika mereka beriman dan beramal saleh akan diberi kehidupan yang baik dan balasan yang terbaik (an-Nahl, 16:97); dan

kelebihan yang satu dari yang lain ditentukan oleh ketakwaan (al-Hujurat, 49: 13) dan prestasinya

Dan Allah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Allah meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat (al-An’am, 6: 165).

Berkaitan dengan prinsip persamaan ini dalam al-Qur’an memang ada ayat yang arti lahirnya menunjukkan bahwa pria memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan wanita Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya (al-Baqarah, 2: 228); dan dalam hadis ada sabda Nabi yang secara harfiah menunjukkan bahwa wanita dalam agama dan akalnya kurang dibandingkan dengan pria (HR Imam Bukhari dan Muslim). Namun jika dipahami dari konteks internal dan eksternalnya diketahui bahwa derajat lebih tinggi yang dimiliki pria itu

menunjuk pada tanggung jawab sosial-ekonominya yang lebih besar dengan menjadi qawwam (penanggung jawab keluarga) yang menjadi imbangan dari wanita yang harus melaksanakan tugas-tugas reproduksinya dengan hamil melahirkan dan menyusui

Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dir ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) (QS. an-Nisa’, 4: 34);

Diketahui bahwa hadis di atas itu menunjuk pada kasus ketika umat Islam di masa Nabi merayakan hari raya dengan melaksanakan Shalat ‘Id, sementara ada sekelompok wanita yang ngerumpi di tepi jalan dan mengganggu atau menggoda orang-orang yang lewat.

Persaudaraan

Kemudian mengenai persaudaraan al-Qur’an menyatakan bahwa manusia itu merupakan bangsa yang satu (al-Baqarah, 2: 213). Ayat ini menunjuk pada kodrat manusia sebagai makhluk sosial, di mana mereka saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Kebutuhan kehidupan mereka bervariasi dan bertingkat-tingkat. Karena itu untuk menghindari benturan dan penyimpangan, mereka diarahkan untuk bekerja sama dalam kebajikan dan ketakwaan dan menghindari tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan (Q.S. al-Maidah, 5: 2).

Berkaitan dengan ini al-Qur’an tidak menggambarkan wanita sebagai penggoda iman (fitnah) yang bisa menghalangi pencapaian ketakwaan. Al-Qur’an tidak melemparkan kesalahan kepada wanita (Hawa) sebagai penyebab terjadinya drama kosmis kejatuhan manusia ke bumi (al-Baqarah, 2: 36). Di dalamnya memang ada kisah wanita yang menggoda pria, yakni isteri pembesar Mesir yang mengajak serong Yusuf, namun di dalamnya juga ada kisah isteri Fir’aun yang salehah dan anak Syu’aib yang pemalu.

Kemerdekaan

Selanjutnya mengenai kemerdekaan al-Qur’an menyatakan bahwa Allah memberikan amanah kepada manusia. Amanah itu sebelumnya telah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka menolaknya

Sesungguhnya Aku telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. (al-Ahzab, 33: 72).

Amanah itu adalah kehendak bebas yang harus dipertanggungjawabkan manusia di hadapan Allah. Dalam melaksanakan kehendak bebasnya itu manusia diberi beban sesuai dengan kemampuannya (al-Baqarah, 2: 286);

dan pertanggungjawabannya akan dilakukan secara individual dengan ada ketentuan bahwa seseorang titdak memikul dosa orang lain (al-An’am, 6: 164). Dengan demikian pria dan wanita akan mempertanggungjawabkan sendiri segala apa yang dilakukannya. Permintaan pertanggungjawaban itu dibenarkan sepanjang mereka memiliki kebebasan untuk memilih dan berbuat. Dengan demikian masing-masing orang tanpa memandang jenis kelaminnya memiliki kemerdekaan, sebab jika hanya pria saja yang memiliki kebebasan berbuat maka wanita yang tidak memilikinya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas segala yang dilakukannya.

Berkaitan dengan ini al-Qur’an tidak memberi hak prerogatif kepada pria untuk mendidik, memerintah dan melarang wanita. Amar-ma’ruf dan nahi-munkar dan saling mengingatkan akan kebenaran dan kesabaran yang menjadi tugas-tugas moral-sosial yang diajarkan kitab itu, harus dilakukan bersama-sama oleh pria dan wanita.

Keadilan

Terakhir mengenai keadilan, al-Qur’an menyatakan bahwa keadilan itu merupakan kebajikan yang paling dekat kepada takwa dan diperintahkan untuk ditegakkan bagi dan terhadap siapapun (S. al-Maidah, 5: 8), baik di pemerintahan (an-Nisa’, 4: 58) maupun keluarga (an-Nisa’, 4: 3). Dengan demikian kitab itu memerintahkan agar keadilan dijadikan dasar bagi hubungan pria-wanita di wilayah publik dan domestik.

Dengan prinsip-prinsip ini, maka hubungan pria dan wanita berlangsung dalam kesetaraan sehingga mereka menjadi zauj, pasangan, yang diiedealkan dalam penciptaan. Dalam bangunan kesetaraan ini masing-masing menjadi mitra bagi yang lain dan saling melengkapi.

D. Hubungan Pria-Wanita dalam Keluarga

1. Perkawinan

Al-Qur'an menegaskan perkawinan sebagai satu-satunya prosedur yang bisa ditempuh oleh pria dan wanita untuk membentuk keluarga dengan menjadi suami-isteri :

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina (S. an-Nisa', 4: 24).

Ketentuan ini berarti menghapus kebiasaan Arab Jahiliyah yang membolehkan prosedur pewarisan wanita untuk membentuk keluarga (S. an-Nisa', 4: 19) dan prosedur kumpul kebo yang dikenal dengan istilah ittikhadz akhdan (S. an-Nisa', 4: 25).

Al-Qur'an menjelaskan bahwa perkawinan itu bertujuan untuk menjaga kehormatan diri (S. an-Nisa', 4: 24 dan S. al-Maidah, 5: 5). Kehormatan diri siapa yang dijaga dengan perkawinan? Kedua ayat itu tidak menjelaskannya. Berdasarkan kaedah tafsir yang menyatakan bahwa pengertian umum itu lebih didahulukan daripada pengertian khusus, maka kehormatan diri yang dijaga melalui perkawinan itu adalah kehormatan diri suami, isteri dan anak-anak, bukan hanya kehormatan diri suami saja atau suami dan isteri, seperti yang dikemukakan dalam tafsir klasik dan modern. Karena itu nikah mut'ah dan nikah di bawah tangan (di Indonesia) tidak bisa mencapai tujuan perkawinan yang diajarkan al-Qur'an itu. Hal ini karena isteri yang dipersunting dan anak anak yang diperoleh melalui dua macam perkawinan itu dipandang sebagai memiliki cacat hukum, sehingga tidak memiliki hak-hak sebagaimana layakna isteri dan anak yang syah.

Di samping itu al-Quran juga menyebutkan tujuan perkawinan yang lain, yaitu untuk mendapatkan ketenteraman berdasarkan cinta dan kasih sayang:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah (Allah) menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (S. ar-Rum, 30: 21).

2. Hak dan Kewajiban Suami-Isteri

Di samping menegaskan beberapa hak bagi isteri yang harus dipenuhi oleh suami (nafkah, mu’asyarah bilma’ruf dan tidak dibuat menderita), al-Qur'an mengajarkan hak dan kewajiban suami-isteri dengan

mengemukakan rumusan yang adil dan universal dalam pernyataan singkat yang berbunyi "Mereka (para isteri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka secara ma'ruf" (S. al-Baqarah, 2: 228). Sebagai tolok ukur untuk menentukan kesimbangan hak dan kewajiban suami-isteri, ma'ruf, menurut Muhammad Abduh, meliputi empat kriteria, yaitu kodrat alamiah, agama, kebiasaan dan kepribadian luhur. Berdasarkan kriteria ini maka hak dan kewajiban isteri di daerah dan waktu, bahkan kelas soial tertentu, bisa berbeda dengan hak dan kewajiban isteri di daerah, waktu, dan kelas sosial yang lain, karena adanya perbedaan kebiasaan di antara mereka. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa kebiasaan yang boleh menjadi kriteria itu adalah kebiasaan yang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Rumusan hak dan kewajiban yang dikemukakan al-Qur'an itu sangat jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ulama abad tengah. Pada umumnya mereka menyatakan bahwa isteri tidak wajib menyusui bayinya, memasak, mencuci dan melakukan urusan-urusan rumah tangga yang lain. Kewajibannya hanya satu, yaitu siap melayani keinginan nafsu seksual suami, kecuali jika ada alasan yang dibenarkan agama atau 'uzur syar'i, seperti menstruasi; dan haknya adalah mendapatkan nafkah, tempat tinggal dan beberapa hak yang lain.

Rumusan mereka itu bisa dipastikan memiliki konteks teologis dan kultural tertentu. Dalam al-Qur'an ada ayat yang menyebutkan bahwa isteri itu merupakan "harts", ladang yang bisa didatangi sesuai dengan keinginan suami (S. al-Baqarah, 2: 223) dan dalam hadis ada riwayat dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: "Jika seorang suami memanggil isterinya ke tempat tidurnya dan isterinya itu menolak, kemudian semalaman suaminya marah, maka para malaikat melaknat isteri itu sampai pagi" (muttafaq 'alaih).

Makna lahir ayat dan hadis ini bisa menunjukkan bahwa melayani keinginan seksual suami itu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan isteri kapan pun dikehendaki. Tetapi al-Qur’an menyatakan bahwa kewajiban isteri itu ditentukan secara ma’ruf, yang meliputi empat kriteria itu. “Melayani” suami, sebagai kewajiban isteri, seharusnya juga ditentukan dengan kriteria-kriteria tersebut. Karena itu, ayat dan hadis itu perlu dipahami dengan memperhatikan konteksnya.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir, seorang sahabat Nabi, yang menyebutkan bahwa ayat itu turun berkenaan dengan adanya kepercayaan di kalangan kaum Yahudi bahwa menytubuhi isteri dari arah belakang itu akan menyebabkan anak yang dilahirkannya menjadi juling. Kepercayaan itu diikuti oleh orang-orang Madinah yang kemudian masuk Islam. Ketika mereka mengetahui bahwa kaum Muhajirin melakukan persetubuhan dengan posisi seperti itu, maka mereka menanyakannya kepada Nabi dan sebagai jawabannya adalah ayat itu. Jadi ayat itu diturunkan untuk membantah mitos itu, tidak untuk melegalkan eksploitasi seksual terhadap isteri. Istilah ladang yang digunakan untuk menyebut isteri, sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkannya, sebaliknya malah untuk menghargainya. Ladang yang subur di Arab yang

tandus merupakan kekayaan yang sangat berharga. Dengan demikian ayat itu menyiratkan pengertian bahwa isteri itu adalah “kekayaan” yang sangat berharga yang harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang (dieman), sopan dan baik, tidak dengan semena-mena. Hal ini ditunjukkan oleh al-Qur’an dalam ayat lain yang menyebutkan suami dan isteri itu masing-masing menjadi pakaian bagi yang lain:(S. al-Baqarah, 2: 187).

Adapun hadis itu kemungkinan berkaitan dengan budaya pantang ghilah yang ada di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. Ghilah adalah menyetubuhi isteri yang sedang hamil atau menyusui. Mereka memandang ghilah sebagai tabu (Hamid al-Faqi, t.t.: 214). Budaya itu tampaknya begitu kuat sampai-sampai Nabi pernah bermaksud untuk melarangnya. Beliau baru mengurungkan maksudnya setelah mengetahui bahwa ghilah yang dilakukan bangsa Persia dan Romawi ternyata tidak menimbulkan akibat buruk bagi anak-anak mereka (HR Muslim dari Judzamah binti Wahb).

Di samping itu juga ada kemungkinan bahwa hadis itu berkaitan dengan penolakan isteri untuk “melayani” suami yang bisa mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perkawinan untuk menjaga kesucian diri, seperti yang disebutkan dalam Q.S. an-Nisa’, 4: 24 dan Q.S. al-Maidah, 5: 5. Dengan demikian Nabi menyabdakan itu supaya suami dan isteri saling menolong dalam kebajikan dan keatakwaan.

Kemudian pandangan ulama yang tidak mewajibkan isteri untuk menyusui anak yang dilahirkannya, kemungkinan besar dilatarbelakangi oleh tradisi Arab, khususnya suku Quraisy yang tidak menyusukan bayinya kepada ibunya sendiri, tapi kepada ibu asuhnya yang biasanya dicari dari pedalaman. Jika demikian dalam masyarakat lain yang tidak mengenal budaya itu, termasuk Indonesia, ibu-ibu bisa dibebani kewajiban menyusui anak mereka, sebagai bagian dari tugas-tugas reproduksi yang harus dilakukan.

3. Kepemimpinan dalam Keluarga

S. an-Nisa’, 4: 34 biasanya dijadikan dasar untuk memberikan hak kepada suami untuk menjadi pemimpin bagi keluarganya. Pemahaman ini didasarkan pada salah satu pengertian dari kata qawwamun, jamak dari qawwam, yang terdapat dalam ayat itu, yakni al-amir yang berarti pemimpin. Dalam kebanyakan literatur tafsir abad tengah, seperti al-Kasysyaf, dijelaskan bahwa suami sebagai pemimpin itu berkedudukan seperti pemerinrah bagi rakyat, yang berhak untuk memerintah dan melarang dan untuk ditaati. Literatur tafsir modern yang masih menggunakan pengertian itu untuk mengartikan kata tersebut, seperti al-Manar, memberikan penjelasan yang mendekati prinsip-prinsip dasar hubungan pria-wanita yang dijelaskan di atas. Dalam tafsir ini dinyatakan bahwa kepemimpinan suami bagi isterinya itu memiliki fungsi-fungsi himayah (membela), ri’ayah (melindungi), wilayah (mengampu) dan kifayah (mencukupi).

Dalam bahasa Arab istilah qawwam juga memiliki pengertian lain, yaitu al-qawy ‘ala qiyam bi al-amr (orang yang kuat melaksanakan urusan). Berdasarkan pengertian ini maka ayat itu menunjukkan bahwa suami itu harus mengurus isterinya yang harus melaksanakan tugas-tugas reproduksi. Dengan demikian bila dipahami berdasarkan arti ini, maka ayat tersebut tidak menunjuk hak kepemimpinan suami, tapi tanggungjawabnya untuk memberikan kesejahteraan kepada isteri yang hamil, melahirkan dan menyusui. Tanggung jawab dan tugas ini menjadi kelebihan masing-masing suami dan isteri yang diberikan oleh Allah yang diisyaratkan dalam frasa kedua ayat itu.

4. Isteri Ideal

Pembicaraan tentang isteri ideal dalam al-Qur’an juga berangkat dari S. an-Nisa’. 4: 34. :

Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) (QS. an-Nisa’, 4: 34);

Ayat ini memang tidak secara eksplisit menyatakan bagaimana isteri yang ideal itu. Ia mengemukakan pujian kepada isteri salehah yang memilki sifat-sifat tertentu. Pujiannya ini bisa dipahami sebagai menunjuk pada kriteria isteri ideal, yaitu:

a. Qanitah yang pengertiannya adalah taat kepada norma-norma agama, moral dan hukum yang disertai dengan ketundukan.

b. Hafidhah yang pengertiannya adalah bisa menjaga diri dan amanah.

Ayat itu tidak menyebutkan tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap isteri ideal seperti itu. Hal ini menunjukkan bahwa isteri yang memenuhi kriteria itu seharusnya dipersilahkan untuk mengembangkan seluruh potensinya sebagai hamba dan khalifah. Dengan demikian dari perspektif al-Qur’an tidak masalah, apakah isteri itu bekerja di luar rumah atau tidak. Yang penting seorang isteri itu harus qanitah dan hafidah, dengan tidak mempedulikan dia itu wanita karier atau bukan.

5. Poligami dan Kekerasan dalam Keluarga

Al-Qur’an membicarakan poligami dalam S. an-Nisa’, 4: 3, 20 dan 129. Ayat pertama berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan, syarat adil dan batas maksimal poligami dengan empat isteri; kedua tentang larangan mengambil harta yang telah diberikan kepada isteri, betapapun banyaknya, untuk biaya poligami; dan ketiga tentang ketidakmungkinan seorang suami berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam poligami.

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (Q.S. An Nisa’:129)

S. an-Nisa’, 4: 3 menghubungkan pengaturan poligami dengan ketidakadilan terhadap anak yatim. Pemahaman terhadap persoalan ini bisa dilakukan dengan merekonstruksi sejarah ketika ayat itu diturunkan pada tahun ke-4 H. Pada waktu itu Islam baru saja mengalami kekalahan besar dalam Perang Uhud yang menelan korban 70 orang pria dewasa sebagai syuhada. Jumlah itu sangat besar untuk ukuran umat ketika itu yang jumlah kaum prianya hanya 700 orang. Ketika itu, sebagaimana masa-masa sebelum dan sesudahnya, pria menjadi tumpuan keluarga. Dengan gugurnya 10 % pria Muslim itu maka banyak perempuan menjadi janda dan banyak anak menjadi yatim dalam keluarga-keluarga yang kehilangan penopang ekonominya. Dengan kata lain di Madinah, pusat pemerintahan Islam yang baru tumbuh ketika, itu terjadi booming janda dan anak yatim yang potensial menjadi terlantar.

Pada masa ketika tribalisme masih menjadi struktur sosial masyarakat Arab, hal itu tidak menjadi persoalan karena kepala suku yang memiliki kewajiban memberikan jaminan sosial kepada warganya, akan memberi santunan kepada mereka. Namun keadaannya kemudian berubah seiring dengan perkembangan Hijaz menjadi rute perdagangan dari Yaman ke Syiria, yang mendorong masyarakat Arab perkotaan berubah menjadi masyarakat perdagangan dengan segala konsekuensinya, seperti individualisme, eksploitasi terhadap yang lemah dan persaingan. Islam tidak memutar jarum jam sejarah mereka kembali ke masa purba, tapi memperbaiki keadaan yang ada dengan menekankan persamaan, persaudaraan dan keadilan. Karena itu ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya orang yang gugur di medan perang itu, Nabi tidak berperan sebagai kepala suku yang menyantuni janda dan anak-anak yatim yang mereka tinggalkan, tapi sebagai kepala negara yang harus menjamin kesejahteraan warganya. Karena kas negara terbatas atau bahkan tidak ada, maka warganya yang memiliki kemampuan secara mental dan materiel dihimbau untuk menanggulangi krisis itu dengan melakukan poligami sebagai katup pengaman sosial.

Dari paparan sekilas ini bisa diketahui bahwa poligami dalam Islam sebenarnya menjadi aturan yang berlaku ketika terjadi darurat sosial, tidak dalam situasi normal dan “darurat” individual, seperti yang dirumuskan dalam buku-buku fiqh dan undang-undang perkawinan di beberapa negara Muslim. Dan yang perlu dicatat adalah bahwa meskipun menjadi aturan darurat, poligami ketika itu tetap diberi persyaratan ketat, seperti yang disinggung di atas. Karena itu pengaturan dan pelaksanaan poligami di kalangan umat, seharusnya mengacu pada ideal al-Qur’an itu.

Berdasarkan acuan itu maka poligami yang dilakukan tidak karena darurat sosial itu bisa dilarang. Pelarangan poligami sekarang ini nampaknya sudah merupakan keharusan sejarah lantaran semakin menguatnya kesadaran tentang kemanusiaan, yang Islam ikut mempeloporinya. Latar belakang budaya dari poligami di antaranya adalah pandangan bahwa wanita itu di bawah pria. Dalam kebudayaan yang maju pandangan ini sudah tidak ada. Karena itu, meskipun ada yang memperjuangkan atau mendukung poligami, proses munkarisasi lembaga itu tetap berlangsung. Proses ini sudah barang tentu tidak bisa dilepaskan dari nilai yang terkandung dalam kebudayaan itu yang memandang kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, tapi juga kekerasan psichis dan seksual. Sekarang orang menilai poligami sebagai salah satu bentuk kekerasaan psichis terhadap isteri (wanita).

Nilai itu bukan merupakan sesuatu yang sama sekali baru dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari agenda penghapusan beberapa bentuk kekerasan terhadap wanita di masa Nabi yang bisa ditemukan dalam al-Qur’an sebagai beikut:

a. Membunuh bayi perempuan dengan menguburkannya hidup-hidup (S. at-Takwir, 81: 8-9)

b. Memukul (S. an-Nisa’, 4: 34)

c. Menceraikan isteri setelah tua untuk selama-lamanya (S. al-Mujadilah, 58: 2)

d. Mengusir dari rumah (S. at-Thalaq, 65: 1)

e. Membuat sengsara dan menderita (S. at-Thalaq, 65: 6)

f. Mempersulit kehidupan wanita (S. al-Baqarah, 2: 232)

Selanjutnya silahkan simak ayat-ayat berikut:

1) Al Ahzab ayat 4

2) Al Ahzab ayat 50 s/d 52

E. Hubungan Pria-Wanita dalam Masyarakat

1. Pendidikan

Dalam Islam normatif tidak ada larangan bagi wanita untuk belajar. Bahkan dalam riwayat yang populer disebutkan bahwa belajar itu menjadi kewajiban Muslim dan Muslimah. Namun dalam penafsiran ada ayat yang dihubungkan dengan larangan itu, yakni S. al-’Alaq, 96: 5. Ketika menafsirkan ayat itu al-Qurthubi menyatakan bahwa tidak baik bagi wanita untuk belajar baca-tulis karena dikhawatirkan akan menggunakan kepandaiannya untuk menulis surat kepada pria yang ditaksirnya.

2. Hubungan Sosial

Dalam al-Qur’an ada ayat yang seringkali dijadikan dasar bagi keharusan wanita tinggal di dalam rumah, yakni S. al-Ahzab, 33: 33. Namun dari asbab an-nuzul-nya diketahui bahwa ayat itu sebenarnya tidak memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah saja, tapi memerintahkan agar mereka menjaga diri ketika berada di rumah.

3. Kepemimpinan publik

Dalam penafsiran abad tengah setidak-tidaknya ada dua ayat yang oleh para ulama dijadikan dasar untuk melarang wanita menjadi pemimpin publik, yakni S. al-Baqarah, 2: 228 dan S. an-Nisa’, 4: 34. Mereka memahami darajah dalam ayat pertama sebagai tingkat kecerdasan dan kemampuan memimpin. Sejarah telah membuktikan ketidakbenaran pemahaman ini. Kemudian pemahaman mereka terhadap ayat kedua tidak sesuai dengan ayat itu sendiri yang konteks pembicaraannya adalah tentang peran dalam keluarga, bukan peran dalam wilayah publik.

F. Peran Perempuan dalam Sejarah

Ada siklus dalam sejarah, sehingga terjadi pengulangan di dalamnya. Atas dasar ini maka dapat dikatakan bahwa keterlibatan wanita di ranah publik yang banyak disaksikan sekarang ini sebenarnya merupakan pengulangan dari yang terjadi di masa lalu. Jauh sebelum Islam al-Qur’an mengkisahkan Ratu Bilqis yang berkuasa di negeri Saba’ yang berhasil membangun negaranya menjadi sebuah negara makmur yang kemudian dijadikan ideal, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Kemudian pada awal pertumbuhan dan perkembangan Islam dua isteri Nabi tampil sebagai tokoh sejarah yang sukses di bidang perdagangan dan kemanusiaan, Khadijah dan Shafiah (yang diberi gelar Ummul Aitam karena pengabdiannya untuk anak-anak yatim).

Keterlibatan wanita di masa dahulu bisa jadi tidak hanya di wilayah ”sekuler” (politik, ekonomi dan kemanusiaan) itu, tapi juga di wilayah agama. Dua puluh lima nabi yang wajib dimani dalam Islam memang semuanya pria. Namun dalam sebuah hadis Nabi menyebutkan bahwa jumlah nabi itu lebih dari 100.000 ribu. Siapakah yang berani memastikan bahwa di antara mereka itu tidak ada yang wanita?


Barokallahu li walakum bil ayati

Waladdikril hakim.

Wataqabbala minni waminkum tilawat(i),


Innahu huwas-samiul alim. 

Pasanggrahan Pakujajar. 
13 Juni 2013. Ki Dr. H. Ihwan Natapradja.





No comments:

Post a Comment